Tak seperti biasanya, pagi ini aku berangkat ke sekolah sebelum jam tujuh. Setelah memarkir sepeda polygonku, aku menuju kantor dan ngobrol sebentar dengan Bu Rokini, kepala sekolah di tempatku mengajar. Upacara hari senin seperti biasa akan segera di mulai. Aku mendekati beliau.
“Ibu saja ya yang jadi Pembina upacara? Saya tidak siap, saya tidak bisa ngomong, bu,” kataku setengah memohon.
“Bisa.. Sudah bisa jadi guru, pasti kamu bisa jadi pembina upacara. Lagi pula tidak adil jika kamu tidak mendapat giliran,” jawab beliau memberiku semangat.
Memang di sekolahku semua guru harus bergiliran menjadi pembina upacara. Tak kenal guru senior maupun junior, asalkan jabatannya guru, maka ia wajib menjadi Pembina upacara. Oh, no...
“Trus, saya harus ngomong apa bu. Saya benar belum siap,” kataku sedikit berbohong (hehe). Dari kemarin sabtu aku sudah menghafal poin-poin yang akan aku sampaikan. Insya Allah, aku hafal. Tapi demam panggung nih.
“Seperti biasa aja, belajar. Dua minggu lagi kan Ujian Kenaikan Kelas.”
“ Hm... Baik, bu. Sebisanya saya saja ya, bu.”
Sedikit tersenyum, beliau mempersilahkanku untuk siap-siap ke lapangan upacara. Grogi juga ternyata, padahal cuma anak-anak yang aku hadapi. Kemudian, aku memutuskan untuk menyingkat pidatoku, bahkan mengubah semua isi pidato yang sudah kuhafal. Entah nanti jadinya seperti apa, yang penting singkat, padat dan jelas. Dengan begitu akan terhindar dari hal-hal yang aku khawatirkan. Salah kata, atau salah arah pidato, misalnya.
“Dug dug dug...”
Jantungku berdegup kencang. Aku sudah menarik nafas panjang, bahkan membaca doa, tetap saja jantungku tidak mengurangi kecepatan detaknya. Aku tidak bisa berpikir jernih. Saat pemimpin upacara lapor padaku, aku sempat salah kata. Aduh, malunya...
“Amanat Pembina Upacara.”
Suara protocol membangunkan kesadaranku. Aku menarik nafas panjang dan mengucap bismillah. Perlahan aku memulai pidatoku. Sengaja aku berbicara tidak secepat biasanya. Selain akan mengurangi kesalahan pemilihan kata, juga memberiku sedikit waktu untuk memikirkan topik apa lagi yang hendak aku sampaikan.
Kalimat demi kalimat meluncur lancar dari mulutku. Entah mereka mau mendengarnya atau tidak, yang jelas tugasku menyampaikan pidato yang seperti ini.
“Fiuh... Cukup lima menit saja, yang penting tidak memalukan,” pikirku. Maka aku menyudahi pidatoku beserta rasa grogi di dalam tubuhku.
Usai upacara, saat menyalami guru-guru senior, mereka mengucapkan selamat padaku. Selamat karena sukses menjadi Pembina upacara. Agak lebay kelihatannya, tapi inilah rasa perhatian mereka padaku, guru termuda di SD ini. Aku senang juga, karena bisa menumbuhkan sedikit rasa percaya diriku. Yippiiiii... alhamdulillah...
0 komentar:
Posting Komentar
Your comment, please. Whether it is good or bad... ^_^