Di suatu pagi saat wajahku sedang berseri-seri..
"Ahad wingi kondangan ten kidul. Putrane mbak ****
tekno sumuk nopo pripun kok milih mboten nganggo krudung niku ?"
tekno sumuk nopo pripun kok milih mboten nganggo krudung niku ?"
Jleb jleb jleb...
Speechless beberapa detik saat Bapak Guru SD-ku yang sekarang menjadi rekan kerjaku itu memprotes salah satu anggota keluargaku yang tidak berjilbab. Sempat terbersit rasa kesal kenapa beliau tidak bertanya pada si anak atau ibunya sekalian sehingga saya tidak harus menjawab pertanyaan yang sebenarnya bukan pertanyaan ini. Saya justru akan berterimakasih pada beliau kalau saja beliau memprotes langsung pada yang bersangkutan. Tapi kenapa harus beliau bertanya pada saya. Terus terang saya bingung, pak. Kalau ada fasilitas call a friend, pasti saya sudah menelpon kakak-kakak untuk membantu memilihkan jawaban yang paling tepat.
Dan akhirnya dengan menahan malu dan sangat sangat tidak bangga sekali saya menjawab:
"Inggih pak, niku sampun mboten saged dikandani kalih ibune"
Yes, saya menjerumuskan anggota keluarga saya sendiri, membuka aib keluarga serta mempermalukan orangtuaku selaku orang yang dianggap paling bertanggungjawab atas anak cucunya. Sungguh malu rasanya saat ada orang lain yang menegur anggota keluargaku dan saya tidak bisa apa-apa. Apalagi keluarga saya dianggap religius. Ah... Seperti orang munafik. Kami (anak-anak ibu) tak henti-hentinya menyelipkan materi kewajiban berjilbab pada murid-murid perempuan di sekolah maupun di pengajian anak-anak tapi keluarga sendiri ada yang tidak berjilbab
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59). (Dikutip dari sini)
Andai dya ini adek kami, sudah pasti kami akan mati-matian memaksanya memakai jilbab. Kami tidak perduli kalau orang bilang memakai jilbab itu harus menunggu hidayah. Kami pun tidak mau tahu kalau bapak Quraish Shihab menafsirkan jilbab bukan suatu kewajiban tapi hanya anjuran. Bagi kami, namanya jilbab itu kewajiban yang tidak bisa ditunda dengan alasan apapun. Lebih baik terpaksa memakai jilbab tapi terlambat sadar bahwa kewajiban muslimah itu berjilbab daripada sadar akan kewajiban berjilbab tapi tak kunjung berjilbab.
Sekarang kami tidak mau kecolongan. Keponakan yang masih SD dan TK menjadi target pemaksaan kami walaupun hanya di waktu-waktu tertentu. Alhamdulillah, mereka nggak protes bahkan mereka dengan suka rela mencari jilbab sendiri saat hendak diajak pergi keluar kampung. Soal yang di atas, memang masih jadi Pe-eR banget. Tapi ponakan krucil-krucil ini yang jadi fokus utama kami.
Anyway... Saya dan adek produk keterpaksaan memakai jilbab sejak SMP. Dan kami tidak pernah menyesal kalau dulu terpaksa berjilbab. Kalau kalian bagaimana? Kerudungnya masih dipakai kan?
PS: Kalau setelah membaca post ini ada yang tersinggung, bersyukurlah.. Jarang lho ada yang merasa tersinggung, kalau cuma pura2 tidak tahu saja itu sih biasaaa..
PS: Kalau setelah membaca post ini ada yang tersinggung, bersyukurlah.. Jarang lho ada yang merasa tersinggung, kalau cuma pura2 tidak tahu saja itu sih biasaaa..
0 komentar:
Posting Komentar
Your comment, please. Whether it is good or bad... ^_^