Minggu lalu, Lutfia (kelas 3 SD) sedang menempuh UKK, dan jadi lebih sering nginep di rumah. Biasanya, selama ujian, Fia belajar bareng Ibunya atau Mbak Ana. Soalnya, saya atau adik, justru kebanjiran job ngeles. Malam itu, Fia dan Naura menginap tanpa ibunya. Saya dan adek baru sadar kalo tidak akan ada yang bisa menemani Fia belajar malam itu. Saya sudah terlanjur janji berangkat les, sedangkan adek saya mengisi pengajian anak-anak. Bapak Ibu? Mereka sudah nggak sanggup menemani Fia belajar. Mereka paling hanya bisa menemani saja, tapi nggak bisa "menemani" (ikut) belajar. Mungkin itu juga ya yang dialami murid-murid saya yang orang tua nya merasa nggak sanggup mengajari anaknya.
Saya nggak tega membiarkan Fia belajar sendiri. Bibirnya bisa monyong-monyong karena nggak suka dipaksa belajar, sendiri lagi belajarnya. Tapi kalo nggak dipaksa kok ya beneran nggak belajar. Karena itulah, saya dengan berat hati akhirnya meng-cancel janji les di luar. Dalam pikiranku, saya bakal jahat banget kalo membiarkan Fia belajar sendiri, sedangkan anak orang lain justru belajar bareng saya. Bagaimana mungkin saya memilih mencerdaskan anak bangsa, bukan ponakan sendiri, hohoho..
Bagi anak SD, terutama seumuran Fia, belajar itu sesuatu yang berat. Saya juga ingat banget kok, jaman SD, kalo disuruh belajar sendiri, saya kebanyakan bengongnya daripada belajarnya. Bahkan, saking jeleknya nilai Pra EBTA saya, setiap habis maghrib bapak sudah standby siap nge-drill pake buku Bank Soal. Duh, saya kan jadi nggak bisa mengelak, ehehehe.. Tapi worthy kok, nilai saya jadi naik belasan angka
Berkaca dari situlah, maka saya jadi sadar bahwa anak-anak seusia SD itu belum paham apa itu belajar dan apa pentingnya belajar. Nyuruh anak belajar itu gampang, kan cuma nyuruh. Tapi jangan harap hasil belajar karena paksaan itu akan bagus. Buktinya banyak kok, murid-murid saya yang agak "males" belajar kudu saya temani, saya tungguin, bahkan saya "gandeng" agar bisa mengerjakan tugas dengan benar. Jangankan jawabannya benar, si anak mau mengerjakan tugas saja saya sudah senang lho.
Karena itulah, menyuruh Fia belajar itu kudu dengan banyak trik. Saya dan orang rumah sependapat bahwa menemani Fia belajar artinya yang nyuruh juga harus ikutan belajar. Biasanya kami membacakan soal-soal yang ada di buku, Fia yang menjawab pertanyaan tersebut. Saat Fia bosan harus menjawab soal, kami akan bermain peran menjadi murid dan dia jadi ustadzahnya (guru). Fia suka banget kalo jadi ustadzah. Tugas ustadzah adalah membaca soal dan mengkoreksi jawaban murid. Iseng, kami sering pura-pura nggak bisa menjawab. Fia dengan bangganya menyebutkan jawaban yang (menurutnya) tidak kami ketahui. Nah, Fia nggak sadar kan kalo sebenernya dia juga sedang belajar, hihihi
Kemudian, kalo ada materi yang dia belum mengerti, kami akan meminta dia membaca materi dengan keras, atau sebaliknya kami yang membaca untuknya. Saat kami membaca, biasanya Fia mendengarkan sambil iseng bermain. Nggak apa deh dia sedikit-sedikit bermain, asalkan kami sesekali bertanya untuk memastikan kalo Fia mendengarkan kami.
Beruntung Fia punya Ibu (dan uhuk.. bulik-bulik cantik) yang bisa menemaninya belajar. Bagaimana dengan anak-anak lain yang nggak ada teman belajarnya? Bagi yang mampu, mengirim anaknya ke bimbel atau mengundang guru private lah solusinya. Tapi kembali lagi sih pada sifat orang tua yang care ato tidak pada anaknya. Tapi bagi yang tidak mampu? Kami, kala itu, termasuk dalam golongan tidak mampu. Makanya tak satupun dari kami yang masuk bimbel. Maka bimbelnya ya rumah ini
Sekian lama mengajar, saya baru sadar, inilah pentingnya seorang Ibu itu juga wajib sekolah tinggi. Nggak masalah kan kalo selanjutnya dia menjadi Ibu Rumah Tangga. Toh, ilmunya akan bemanfaat bagi anak-anaknya kelak. Tuh, makanya belajar lagi yuk