Malam kemarin, saya dan adikku ingin merasakan suasana
ramadhan yang lain daripada yang lain. Kami berdua ingin merasakan sholat
tarawih di masjid di luar kampung. Bahasa gaulnya, Safari Tarawih. Kami biasa
menjalankan sholat tarawih 11 rokaat (di masjid dalam atau luar kampung), tapi
tidak ada salahnya kan kalau kami ingin juga sholat tarawih 23 rokaat.
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS: Ar-Ruum: 31 – 32)”
Foto temen-temen saat di Garut |
Masjid yang kami pilih tahun ini adalah masjid di kampung
tetangga. Letaknya dipinggir jalan raya, sehingga bisingnya tak terkira. Tapi, kebisingan
itu nggak terlalu jadi masalah. Jumlah rokaat dan adat sholat yang berbeda
dengan kampungku pun tak jadi masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika kami
dihadapkan dengan jamaah yang shaf nya tidak sesuai petunjuk masjid. Saat itu,
kami sholat bukan di masjid utama, melainkan di serambi yang letaknya di
sebelah kiri masjid utama. Jadi ada lorong antara masjid utama dan serambi. Di
serambi ini kebanyakan diisi oleh jamaah yang sudah sepuh dan anak-anak. Shaf
depan terdiri dari 3 orang, kemudian jamaah lain berbanjar ke belakang
mengikuti arah tikar. Disini, terdapat garis shaf yang arahnya serong ke utara.
Saya dan adik datang belakangan dan bagian kami tanpa tikar, sehingga terlihat
jelas garis shaf yang menghadap kiblat. Namun, entah kenapa, jamaah di serambi
ini sholatnya tidak serong mengikuti garis shaf, melainkan lurus mengikuti arah
bangunan.
Selama ini kami sering menjumpai
shaf kosong di bagian depan, atau belakang, atau shaf yang dimulai dari kanan
dan kiri. Sedang kasus seperti ini kami belum pernah menjumpai sama sekali. Kecuali saat
melihat film “Sang Pencerah” dimana diantara jamaah Masjid Kauman, hanya Kyai
Ahmad Dahlan saja yang sholatnya serong menghadap kiblat yang diyakininya. Kami jadi bingung sendiri. Padahal sholat sudah dimulai dan tidak cukup waktu untuk menimbang-nimbang apakah kami harus menggelar sajadah sesuai shaf jamaah yang kurang benar atau sesuai kiblat masjid. Maka dengan
pengetahuan dangkal, dan dengan pertimbangan kami berada di bagian paling belakang
dan pinggir kiri sehingga tidak mengganggu jamaah di samping kiri kami, kami
sholat mengikuti petunjuk kiblat Masjid tersebut. Arah sholat kami serong dan jadi
berbeda dengan jamaah di sebelah kanan kami.
Sebenarnya nggak enak juga dengan masyarakat, takut jadi masalah, apalagi kami ini pendatang yang numpang sholat. Walaupun untungnya, jamaah disebelah kami ya tidak komplain. Tetap, hati kami bergejolak (taelah) karena kami tidak lurus
dengan shaf jamaah, padahal lurusnya shaf menjadi kesempurnaan sholat. Dari Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu:
"Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya kelurusan shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat.” [HR Muslim (433)]
Kemudian, sepulangnya dari masjid, kami mengadu pada
bapak. Beliau berkata bahwa syarat
sah shalat yang harus dilakukan sebelum melaksanakannya di antaranya adalah
menghadap kiblat. Dari sumber ini, Jika suatu
jamaah merasa kesulitan mengubah
posisi kiblat, karena masjid agak terlalu jauh untuk dimiringkan dan sangat
sulit, atau bahkan akan
membuat kondisi masjid malah menjadi
sempit, maka selama itu masih antara arah utara dan selatan, posisi kiblat
tersebut dianggap sah. Akan tetapi, jika mungkin kita mampu mengubah arah
kiblat seperti pada masjid yang baru dibangun atau untuk tempat shalat kita di
rumah, selama itu tidak ada kesulitan, maka lebih utama kita merubahnya.
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Tadi, seorang guru agama di sekolah pun mengatakan hal yang
sama dengan bapak. Permasalahannya, di masjid sudah ada garis shaf yang sesuai
kiblat, namun jamaah tidak membuat shaf sesuai arah kiblat. Dengan begitu, maka
tidak salah kalau kami sholat mengikuti petunjuk kiblat. Alasannya karena adanya
petunjuk kiblat berarti sudah ada kesepakatan antara Takmir dan Jamaah Masjid tentang arah kiblat yang mendekati benar. Adapun
jamaah yang tidak mengikuti petunjuk shaf, itu menjadi tanggungjawab Takmir
Masjid untuk menyampaikan kesepakatannya.
Jawaban bapak dan teman guru saya tidak serta merta memuaskan
rasa penasaranku. Semalam saya juga bertanya pada seorang teman yang lain. Darinya saya
diberi pengertian bahwa meluruskan shaf itu lebih utama. Sehingga, meski tidak
sesuai dengan petunjuk kiblat masjid, maka lebih baik sholat dengan meluruskan shaf
agar tidak menggangu kekhusyukan dan menghindari perselisihan dengan jamaah
lain.
Dalam suatu bahasan di sini disebutkan bahwa ketika berada di suatu tempat yang tidak memungkinkan mereka untuk mengetahui arah
qiblat, seperti mereka dalam perjalanan sedang cuaca penuh dengan awan dan
mereka tidak dapat mengetahui qiblat, maka jika mereka shalat dengan
berhati-hati (berusaha agar mereka menghadap arah yang tepat) kemudian (setelah
selesai shalat) ternyata mereka tidak tepat pada arah qiblat, maka tidak ada
kewajiban apapun bagi mereka, karena mereka telah bertaqwa kepada Allah sesuai
dengan kemampuan mereka.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah, sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatnya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah : 115)
“Apabila rasa takut lebih dari ini, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan dengan menghadap kiblat atau pun tidak.” (Ibnu Umar)
Namun, ketika mereka berada di tempat yang memungkinkan mereka untuk bertanya tentang arah
qiblat yang tepat akan tetapi mereka lalai dan meremehkan (tidak bertanya),
maka dalam keadaan seperti ini mereka wajib mengqadha shalat yang mereka
laksanakan dengan tidak menghadap qiblat. Baik mereka mengetahui
kesalahan tersebut setelah habisnya waktu shalat itu atau sebelum habisnya
waktu sholat. Hal ini
dikarenakan mereka salah dan sengaja
salah tidak menghadap qiblat serta meremehkan dengan tidak bertanya tentang qiblah tersebut. Meski begitu, perlu diketahui bahwa miring sedikit dari arah qiblah adalah tidak membahayakan.
Antara timur dan barat adalah qiblah. (HR.Tirmidzi)
Berdasarkan bahasan tersebut di atas, saya mendapati dua opini
yang berbeda yang berkaitan dengan kegusaran saya. Dua opini tersebut punya dasar
masing-masing, sedangkan pengetahuan saya terlalu dangkal untuk memilih opini
mana yang akan saya ikuti. Lain kali, saya akan memilih sholat selain di masjid itu daripada kebingungan soal shaf dan kiblat ini muncul kembali. Ke
depannya, saya masih akan mencari opini lain dari orang yang lebih ahli
daripada saya. Dan untuk sementara waktu, jika menemukan kasus yang sama, saya berpedoman bahwa menghadap kiblat lebih utama daripada meluruskan shaf. Dengan catatan saya tetap mengikuti arah kiblat yang disepakati takmir masjid setempat. Wallahualam..
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”(QS. Al-Baqarah: 185)
Refrensi:
- http://dakwahquransunnah.blogspot.com/2013/06/perintah-untuk-meluruskan-merapatkan.html
- http://abu-rabbani.blogspot.com
- majalahislami.com
- www.rumaysho.com
- http://dwiyono17.wordpress.com/tag/hukum-salah-arah-kiblat/
PS: saya akan sangat sangat berterimakasih kalau ada yang dengan suka rela berbagi pendapat tentang masalah yang saya temui ini.
0 komentar:
Posting Komentar
Your comment, please. Whether it is good or bad... ^_^