Bekerja di sekolah itu pilihan.
Pilihan untuk mengabdikan hidupnya demi mencerdaskan anak bangsa. Memilih untuk menguras tenaga dan pikirannya demi kepentingan anak-anak yang bahkan bukan hanya anaknya sendiri. Tidak salah jika banyak yang menggunakan istilah "pahlawan" untuk menyebut guru. Bukan karena guru menjadi penolong di setiap kesulitan, tapi karena guru layaknya pahlawan dalam perang yang berjuang agar masyarakat menjadi lebih cerdas dan beradab guna melawan kebodohan yang menyengsarakan.
Selayaknya pahlawan, guru sewajarnya ikhlas dan tidak mengharap pamrih apapun untuk tugasnya. Namun, pemerintah dan sekolah memiliki cara masing-masing untuk menghargai jasa guru. Bahkan seorang guru private pun diberikan penghargaan oleh orang tua wali berupa gaji. Seperti yang sudah diketahui khalayak umum, gaji seorang guru tidak seberapa dibanding gaji pegawai behind the desk. Bahkan rata-rata gaji seorang guru tidak tetap (non - PNS) cuma 10-50% gaji guru PNS. Dengan gaji yang dibilang pas-pas an ini, seorang guru masih tetap semangat mengajar para anak didiknya.
Sayangnya sebagian guru dan karyawan di sekolah masih menghitung "jasa" yang diberikannya dengan rupiah. Di sekolah negeri, pada umumnya, guru berlomba menghitung berapa jam dya mengajar di luar jam pelajaran, berapa lembar jawab yang telah di koreksi, berapa besar tenaga yang tercurah selama menjadi panitia suatu acara di sekolah. Kemudian, hitungan-hitungan itu dikalkulasikan dan di kurskan dalam bentuk rupiah. Sebagian guru dan karyawan menuntut hak mereka dengan tidak tahu malunya. Tanpa ampun menyindir ato bahkan mencecar bendahara sekolah yang belum mengucurkan uang lelahnya. Yah, seharusnya guru, karyawan dan bendahara sama-sama tahu lah. Ibaratnya keluarga miskin, tak mungkin kan kita meminta uang jajan sementara orang tua sedang pusing memikirkan cara menanak nasi tanpa beras. Tapi sebaliknya, ibarat keluarga kaya, tak mungkin pula orang tua membiarkan anaknya kelaparan sedangkan nasi lauk pauk tersedia di meja makan.
Di sekolah saya misalnya, dana BOS yang diterima benar-benar digunakan untuk menggaji guru/karyawan dan menutup kebutuhan siswa (let's say, fotokopi worksheet yang tiap guru menghabiskan 4 - 6 ribu per kelas per mata pelajaran). Lalu apa kabar dengan uang UKM (uang kebaktian murid) yang tiap bulan rutin dibayarkan siswa? Aah, jangan ditanyakan besarnya karena jumlahnya tak seberapa. Dana itu untuk membiayai kegiatan sekolah lain yang tidak tercover BOS. Murid-murid kami dari golongan menengah ke bawah. Maka ukm yang terkumpul tidak lebih banyak dari 6juta/bulan. Andai saja para guru ditempat kami menghitung waktu lembur, waktu mengkoreksi dan waktu les dengan hitungan pasti sesuai ketetapan pemerintah, maka sekolah kami mungkin akan jatuh miskin. Dari mana sekolah bisa membayar uang lelah itu? Tak mungkin sekolah membebankannya kepada murid-murid. Sedangkan tidak sedkit dari mereka yang menunggak ukm.
Beberapa kasus yang saya dengar, justru sekolah-sekolah berpotensi terjadi perpecahan antar guru. Siapakah biang keladinya? Tak lain tak bukan adalah "uang". Hanya karena uang dan gengsi, maka terciptalah gap antara GTT/PTT dan PNS di sekolah-sekolah tertentu. Ambillah contoh, saat guru GTT/PTT menerima tunjangan yang nilainya cuma 10% dari gaji PNS sebulan, maka akan terjadi perang dingin antara kedua grup tersebut hanya karena para GTT/PTT tidak berbagi dengan guru PNS. Lalu, apakah saat guru PNS menerima gaji ke-13 para GTT/PTT meminta bagian? Oh tidak.. Kami para GTT/PTT sudah terbiasa "nrimo". Benarkah "nrimo"?
Ambillah contoh saat saya bergabung di Grup Operator sekolah. Banyak info yang sangat membantu disana. Tapi suatu saat saya menemukan satu member di Grup itu (membernya either guru ato TU) yang mengupload file persetujuan guru untuk membayar operator. Oke, operator (termasuk saya) dibayar juga boleh karena memang ada juknisnya. Tapi mata saya terbelalak saat membaca isi draft persetujuan tersebut. Tak tanggung-tanggung, GTT wajib membayar 50rb dan PNS sebesar 200-250 ribu kepada operator. Kalo di sekolahku ada 5 PNS dan 17 GTT dan PTT, maka saya akan mendapatkan 1 juta 850 ribu rupiah sekali mengisi data. Gilak!!!
Saat itu, panas ada di ubun-ubun. Maka saya tanggapi statusnya dengan kritikan dan leave the page as soon as possible. Aku nggak habis pikir kenapa ada orang yang money oriented seperti itu. Tunjukkan loyalitas untuk sekolah dan jangan banyak menuntut. Sekolah bisa saja membayar jasanya (since my principal offered it too, but we refused it). Silahkan kalau sekolah atau PTK berkenan membayar jasa si operator. Tapi I never like begging the money for any reason. Mengemis itu bukan sifatku. For me, kalau tidak mau kerja dengan bayaran sedikit, simply leave your school, find another job! Never ever dream of earning much much much money in the school. We (baca: school teachers and staffs) suppose working at school for the sake of students' quality.
Jadi, anda termasuk guru atau staff yang money oriented ato bukan?
Di sekolah saya misalnya, dana BOS yang diterima benar-benar digunakan untuk menggaji guru/karyawan dan menutup kebutuhan siswa (let's say, fotokopi worksheet yang tiap guru menghabiskan 4 - 6 ribu per kelas per mata pelajaran). Lalu apa kabar dengan uang UKM (uang kebaktian murid) yang tiap bulan rutin dibayarkan siswa? Aah, jangan ditanyakan besarnya karena jumlahnya tak seberapa. Dana itu untuk membiayai kegiatan sekolah lain yang tidak tercover BOS. Murid-murid kami dari golongan menengah ke bawah. Maka ukm yang terkumpul tidak lebih banyak dari 6juta/bulan. Andai saja para guru ditempat kami menghitung waktu lembur, waktu mengkoreksi dan waktu les dengan hitungan pasti sesuai ketetapan pemerintah, maka sekolah kami mungkin akan jatuh miskin. Dari mana sekolah bisa membayar uang lelah itu? Tak mungkin sekolah membebankannya kepada murid-murid. Sedangkan tidak sedkit dari mereka yang menunggak ukm.
Beberapa kasus yang saya dengar, justru sekolah-sekolah berpotensi terjadi perpecahan antar guru. Siapakah biang keladinya? Tak lain tak bukan adalah "uang". Hanya karena uang dan gengsi, maka terciptalah gap antara GTT/PTT dan PNS di sekolah-sekolah tertentu. Ambillah contoh, saat guru GTT/PTT menerima tunjangan yang nilainya cuma 10% dari gaji PNS sebulan, maka akan terjadi perang dingin antara kedua grup tersebut hanya karena para GTT/PTT tidak berbagi dengan guru PNS. Lalu, apakah saat guru PNS menerima gaji ke-13 para GTT/PTT meminta bagian? Oh tidak.. Kami para GTT/PTT sudah terbiasa "nrimo". Benarkah "nrimo"?
Ambillah contoh saat saya bergabung di Grup Operator sekolah. Banyak info yang sangat membantu disana. Tapi suatu saat saya menemukan satu member di Grup itu (membernya either guru ato TU) yang mengupload file persetujuan guru untuk membayar operator. Oke, operator (termasuk saya) dibayar juga boleh karena memang ada juknisnya. Tapi mata saya terbelalak saat membaca isi draft persetujuan tersebut. Tak tanggung-tanggung, GTT wajib membayar 50rb dan PNS sebesar 200-250 ribu kepada operator. Kalo di sekolahku ada 5 PNS dan 17 GTT dan PTT, maka saya akan mendapatkan 1 juta 850 ribu rupiah sekali mengisi data. Gilak!!!
Saat itu, panas ada di ubun-ubun. Maka saya tanggapi statusnya dengan kritikan dan leave the page as soon as possible. Aku nggak habis pikir kenapa ada orang yang money oriented seperti itu. Tunjukkan loyalitas untuk sekolah dan jangan banyak menuntut. Sekolah bisa saja membayar jasanya (since my principal offered it too, but we refused it). Silahkan kalau sekolah atau PTK berkenan membayar jasa si operator. Tapi I never like begging the money for any reason. Mengemis itu bukan sifatku. For me, kalau tidak mau kerja dengan bayaran sedikit, simply leave your school, find another job! Never ever dream of earning much much much money in the school. We (baca: school teachers and staffs) suppose working at school for the sake of students' quality.
Jadi, anda termasuk guru atau staff yang money oriented ato bukan?
0 komentar:
Posting Komentar
Your comment, please. Whether it is good or bad... ^_^