taken dari sini |
Suatu hari saat di kelas 6 putri yang isi penghuninya siswa putri semua (ya iyalah, namanya juga kelas putri)...
Saya menggunakan waktu mengajar untuk membantu mereka mengisi angket Evaluasi Diri Sekolah. Salah satu butir angket tersebut berbunyi :
Hal yang kamu sukai dari guru ketika mengajar adalah
(apakah) mampu memberikan inspirasi (?)
Siswa putri bersahut-sahutan menjawab. Ada yang mengiyakan, ada pula yang menolak. Kemudian, karena saya memang keponya tingkat tinggi, saya bertanya “Siapa guru yang menginspirasi kalian?”
Salah satu anak menjawab “pak X, bu”
Dan diiyakan oleh anak-anak yang lain. Saya kaget bukan kepalang. Pasalnya pak guru yang disebut oleh anak-anak ini salah satu guru yang kurang disukai oleh hampir semua anak di sekolah. Mereka bahkan lebih sering berkomentar miring tentang beliau daripada positifnya. Eh, saya juga kadang-kadang, pak. Astagfirullah, maaf ya pak.. *sungkem
Nah, lanjut ya.
Mendengar jawaban anak-anak tadi kepo saya semakin menjadi-jadi.
Mendengar jawaban anak-anak tadi kepo saya semakin menjadi-jadi.
“Oh.. jadi kalian terinspirasi pengen menjadi seperti pak x?”, tanya saya sambil nyengir.
Serentak anak-anak teriak “Enggak bu. Bukan gitu”
“Terus? Coba saya diceritain, apa yang membuat kalian terinspirasi?”, tanya saya serius.
“Soalnya dulu pas kecil pak x ngumpul-ngumpulke kardus ning sampah go sekolah, bu. Ya pokoke bekerja keras ben iso sekolah”.
Dan mengalirlah banyak kisah masa kecil pak x yang tidak dirasakan oleh anak-anak saat ini. Yang, tentunya saya tidak pernah mendengarnya karena saya dulu tidak diwulang sama beliau. Mendengar celoteh anak-anak ini saya jadi mikir-mikir. Dibalik kekurangan seseorang pasti ada hal baik yang bisa dilihat. Seorang anak kecil saja bisa netral melihat orang dari dua sisi, kenapa orang dewasa susah ya?
Kok ya ketika kita bertemu dengan orang yang dari kesan pertama negatif, dan ternyata selanjutnya juga negatif, kita jadi menilai orang itu buruk terus. Mungkin iya kata pepatah, "Nila setitik rusak susu sebelanga". Gara-gara salah sedikit saja, hilang kepercayaan orang terhadapnya. Tapi gara-gara pepatah ini kita jadi lupa sama yang namanya asas keadilan.
Seharusnya kan kita juga bisa lebih adil menilai orang dari segi positifnya juga. Sejelek-jeleknya orang, pasti ada sifat baiknya. Sebejat-bejatnya orang, ada masanya orang tersebut kembali ke jalan yang benar. Kenapa kita nggak memberikan kesempatan orang tersebut untuk menjadi lebih baik? Kenapa pula kita nggak ngomongke kebaikan-kebaikannya? Masih banyak hal yang bisa dilihat dari seseorang diluar keburukannya. Jadi capek juga kan otaknya kalo tiap hari nyacati uwong waeh. Kapan bersihnya otak ini coba?!
From now on..
Saya harus lebih bisa bersikap adil pada orang untuk melihatnya dari dua sisi, side A terus dibalik ke side B. Karena saya sendiri pun belum tentu dinilai baik terus oleh orang lain. Intinya sih lebih bakhusnudzon kali ya. So, mari kita budayakan khusnudzon rather than suudzon..
Seharusnya kan kita juga bisa lebih adil menilai orang dari segi positifnya juga. Sejelek-jeleknya orang, pasti ada sifat baiknya. Sebejat-bejatnya orang, ada masanya orang tersebut kembali ke jalan yang benar. Kenapa kita nggak memberikan kesempatan orang tersebut untuk menjadi lebih baik? Kenapa pula kita nggak ngomongke kebaikan-kebaikannya? Masih banyak hal yang bisa dilihat dari seseorang diluar keburukannya. Jadi capek juga kan otaknya kalo tiap hari nyacati uwong waeh. Kapan bersihnya otak ini coba?!
From now on..
Saya harus lebih bisa bersikap adil pada orang untuk melihatnya dari dua sisi, side A terus dibalik ke side B. Karena saya sendiri pun belum tentu dinilai baik terus oleh orang lain. Intinya sih lebih bakhusnudzon kali ya. So, mari kita budayakan khusnudzon rather than suudzon..
0 komentar:
Posting Komentar
Your comment, please. Whether it is good or bad... ^_^