Rabu, 03 Desember 2014

Anak Tukang Pijit


Percaya nggak percaya, dari jaman SD saya selalu bingung saat ditanya pekerjaan bapak. Disebut pensiunan, kok itu bukan pekerjaan (karena menurutku pekerjaan itu sesuatu yang dikerjakan). Maka pilihan saya tinggal Petani dan Tukang Pijit. Dan saya milih nulis Petani di formulir pekerjaan bapak. Dulu saya nggak suka kalo bapak jadi tukang pijat. Meski itu bukan pekerjaan aslinya, tapi temen-temen suka ngledekin, “Bapakmu tukang pijet tho?

Untungnya saya bukan tipe yang gampang down. Lha wong mereka kalo jatuh keseleo juga dibawa ortunya pijat ke tempat bapak kok. Siapa yang butuh siapa hayo? Hihihi.. 
Itu dulu sih, sebelum bapaku menyatakan diri berhenti jadi tukang pijit. Padahal sampe sekarang banyak langganan bapak yang kecele. Itu tamu bukan cuma tetangga lho. Sampe mantan temen kerja bapak dulu juga bela-belain kesini. Katanya cuma cocok sama bapak. Saya juga nggak tau kok bapak se-ngetop itu. Darimana beliau punya bakat mijet ini. Buku tentang refleksi dan yang berkaitan dengan pijit memijit bapak memang ada beberapa. Sepertinya beliau cuma belajar dari buku saja.

Eh, tapi jangan salah. Walo anak tukang pijat, silahkan tanya berapa kali anak-anak bapak minta dipijitin. Kalah bok sama tetanggaku yang bisa tiap bulan minta dipijit. Mungkin karena takut kualat ya, jadi kalau nggak sakit yang amat sangat ya nggak minta dipijit. Atau kalau ngegeletak seharian di kamar, maka bapak nggak akan tega kalo nggak “ngaruhke” sambil mijitin 

Sik sik, aku arep ngomong opo tho iki?
Oh iya, ide nulis ini muncul saat lagi enak-enaknya mau merem (sudah pake selimut dengan posisi tidur yang pewe), ibu bangun sambil meringis "kok mumet tenan ki piye, ndang. Melek mubeng-mubeng, turu yo podo wae." Maka saya bangun dari tiduran dan memijat pundak dan kepala ibu. Harusnya saya juga memijat kaki ibu, karena kata bapak sumber penyakit itu adanya di kaki dan tangan. Beberapa kali bapak memberi contoh pijatan di kaki yang berhubungan dengan pusing. Sayang, saya lupa di titik bagian mana yang berpengaruh dengan pusingnya. Tapi tanpa dipijat kaki pun pusing ibu sudah sedikit berkurang.

Ini dya, saya unggah foto refleksi yang mungkin berguna..
Credit to info herbalis
Pijat memijat sudah menjadi tradisi di rumah. Dan sudah tradisi juga kalau mau dipijit ya kudu gantian mijit. Simpelnya, kalau adeku minta dipijit 5 menit, maka gantian dya mijit saya 5 menit. Jadi, tiap mau pijit-pijitnya, musti pasang timer di hape. Nggak ada yang protes, karena ini win-win solution, adil 

Yang paling sering jadi tukang pijit keluarga itu saya. Kalau Ibuk sudah mengeluhkan badannya yang sakit, tandannya beliau minta dipijit. Kalau yang ini sih saya nggak berani gantian minta dipijit. Dulu sih berani minta pijat balik. Kualat ya, pyaaak.. *dikeplak pake kipas sate

Kemarin ini lagi-lagi dengan bangganya Ita bilang “Sak omah ki pijitanmu sik paling manteb. Bapak we kalah”. Ibu sama mbakku juga pernah bilang begitu. Ya iyalah, pembandingnya cuma orang serumah saja. Ge-er nggak sih? Enggak lah, biasa aja. Ntar kalo di iya-in, bisa tiap hari suruh mijitin dong. Adekku juga bertanya, “cara mijit sik enak ki piye tho?”. Aduh, apa ya. Mungkin gen mijitnya bapak nurunnya ke saya. Makanya saya jadi bisa mijit begini. Tapi saya nggak percaya lho ada talenta yang menurun lewat gen ini. Apalagi talenta memijit, ckckckck 

Sudah sudah, daripada ngomong kanan kiri. Cukup sudah sampai disini posting nggak jelas ini. Yang sedang butuh dipijit, jangan lirik saya it wasn't me

0 komentar:

Posting Komentar

Your comment, please. Whether it is good or bad... ^_^

 
Don't Skip Me Blog Design by Ipietoon