Tampilkan postingan dengan label Private Course. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Private Course. Tampilkan semua postingan

Selasa, 16 Juni 2015

"Menemani" Belajar Demi Mencerdaskan Keponakan


Minggu lalu, Lutfia (kelas 3 SD) sedang menempuh UKK, dan jadi lebih sering nginep di rumah. Biasanya, selama ujian, Fia belajar bareng Ibunya atau Mbak Ana. Soalnya, saya atau adik, justru kebanjiran job ngeles. Malam itu, Fia dan Naura menginap tanpa ibunya. Saya dan adek baru sadar kalo tidak akan ada yang bisa menemani Fia belajar malam itu. Saya sudah terlanjur janji berangkat les, sedangkan adek saya mengisi pengajian anak-anak. Bapak Ibu? Mereka sudah nggak sanggup menemani Fia belajar. Mereka paling hanya bisa menemani saja, tapi nggak bisa "menemani" (ikut) belajar. Mungkin itu juga ya yang dialami murid-murid saya yang orang tua nya merasa nggak sanggup mengajari anaknya.

Saya nggak tega membiarkan Fia belajar sendiri. Bibirnya bisa monyong-monyong karena nggak suka dipaksa belajar, sendiri lagi belajarnya.  Tapi kalo nggak dipaksa kok ya beneran nggak belajar. Karena itulah, saya dengan berat hati akhirnya meng-cancel janji les di luar. Dalam  pikiranku, saya bakal jahat banget kalo membiarkan Fia belajar sendiri, sedangkan anak orang lain justru belajar bareng saya. Bagaimana mungkin saya memilih mencerdaskan anak bangsa, bukan ponakan sendiri, hohoho.. spooky

Bagi anak SD, terutama seumuran Fia, belajar itu sesuatu yang berat. Saya juga ingat banget kok, jaman SD, kalo disuruh belajar sendiri, saya kebanyakan bengongnya daripada belajarnya. Bahkan, saking jeleknya nilai Pra EBTA saya, setiap habis maghrib bapak sudah standby siap nge-drill pake buku Bank Soal. Duh, saya kan jadi nggak bisa mengelak, ehehehe.. Tapi worthy kok, nilai saya jadi naik belasan angka hot

Berkaca dari situlah, maka saya jadi sadar bahwa anak-anak seusia SD itu belum paham apa itu belajar dan apa pentingnya belajar. Nyuruh anak belajar itu gampang, kan cuma nyuruh. Tapi jangan harap hasil belajar karena paksaan itu akan bagus. Buktinya banyak kok, murid-murid saya yang agak "males" belajar kudu saya temani, saya tungguin, bahkan saya "gandeng" agar bisa mengerjakan tugas dengan benar. Jangankan jawabannya benar, si anak mau mengerjakan tugas saja saya sudah senang lho.

Karena itulah, menyuruh Fia belajar itu kudu dengan banyak trik. Saya dan orang rumah sependapat bahwa menemani Fia belajar artinya yang nyuruh juga harus ikutan belajar. Biasanya kami membacakan soal-soal yang ada di buku, Fia yang menjawab pertanyaan tersebut. Saat Fia bosan harus menjawab soal, kami akan bermain peran menjadi murid dan dia jadi ustadzahnya (guru). Fia suka banget kalo jadi ustadzah. Tugas ustadzah adalah membaca soal dan mengkoreksi jawaban murid. Iseng, kami sering pura-pura nggak bisa menjawab. Fia dengan bangganya menyebutkan jawaban yang (menurutnya) tidak kami ketahui. Nah, Fia nggak sadar kan kalo sebenernya dia juga sedang  belajar,  hihihi tongue

Kemudian, kalo ada materi yang dia belum mengerti, kami akan meminta dia membaca materi dengan keras, atau sebaliknya kami yang membaca untuknya. Saat kami membaca, biasanya Fia mendengarkan sambil iseng bermain. Nggak apa deh dia sedikit-sedikit bermain, asalkan kami sesekali bertanya untuk memastikan kalo Fia mendengarkan kami.

Beruntung Fia punya Ibu (dan uhuk.. bulik-bulik cantik) yang bisa menemaninya belajar. Bagaimana dengan anak-anak lain yang nggak ada teman belajarnya? Bagi yang mampu, mengirim anaknya ke bimbel atau mengundang guru private lah solusinya. Tapi kembali lagi sih pada sifat orang tua yang care ato tidak pada anaknya. Tapi bagi yang tidak mampu?  Kami, kala itu, termasuk dalam golongan tidak mampu. Makanya tak satupun dari kami yang masuk bimbel. Maka bimbelnya ya rumah ini big grin

Sekian lama mengajar, saya baru sadar, inilah pentingnya seorang Ibu itu juga wajib sekolah tinggi. Nggak masalah kan kalo selanjutnya dia menjadi Ibu Rumah Tangga. Toh, ilmunya akan bemanfaat bagi anak-anaknya kelak. Tuh, makanya belajar lagi yuk  studying



Jumat, 26 September 2014

Teaching Booster

Sore kemarin, saya agak malas-malasan mengajar private. Kadang-kadang, kalau malasnya kumat, saya meng-cancel les dan menggantinya di hari lain. Murid saya sore itu adalah siswa kelas 1 yang minta ditemeni belajar baca tulis. Haduh.. jujur saya tidak terlalu bisa mengajari baca tulis. Tapi apa daya, Fitri maunya belajar sama saya. Saya sudah kenal bocah ini dari tahun lalu, saat saya mengajar kakak sepupunya. Dari dulu dya antusias pengen belajar, eh, ato cuma pengen ketemu saya saja ya  *ge-er

Di antara kemalasan saya, bocah ini memberi saya satu alasan agar saya berpikir 1000x lagi untuk meng-cancel les. Kemarin dya bercerita, dengan bahasa jawa medhoknya:
Fitri : "Mbak, aku mau bengi ora iso turu lho"
Aku : "Lha ngopo?"
Fitri : "Lha kelingan nek sesuk arep les karo mbak Endang"
Aku : *kaget, pengen ge-er, tapi kok lebay 
Maunya pasang muka marah, tapi nggak bisa, hihihi
Saya sering gemes setiap kali mengajar Fitri. Celotehnya kadang membuatku marah sekaligus tertawa. Seperti saat minggu lalu saya menaikkan nada suara untuk memintanya fokus belajar, dya dengan muka lempeng ngomong "Sik sabar yo mbak". 
Tawa saya meledak seketika itu juga. She slap me on my face. Saya diingatkan untuk sabar oleh Fitri, jadi malu   
Saya pun membalasnya sambil ngelus dada, "Iyo fit, mbak Endang ket wingi sabaaaaar" 
Fiuuh..

Saya jadi teringat dengan satu murid saya yang sudah saya ajar semenjak dya kelas 1 sampai sekarang dya kelas 5. Dulu, saya begitu entengnya meng-cancel les. Sampai suatu hari (saat si anak masih kelas 2), ibu dan neneknya bercerita kalau bocah ini menangis saat saya tidak bisa datang mengajar. Speechless.. saya benar-benar hanya bisa senyum saat itu. My bad... punya penyakit kok "malas".

Memang saya akui, kedekatan antara murid, keluarga murid dan guru itu penting. Bisa dibilang saya sendiri merasa sangat dekat dengan dua bocah tadi. Mereka memberiku suntikan semangat untuk lebih rajin lagi mengajar  . Minimal, lebih rajin mengajar mereka . Muridnya saja semangat belajar, masak gurunya nggak semangat sih? 

Sedikit demi sedikit saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya berangkat mengajar karena ada yang membutuhkan ilmu yang saya punya. Setahu saya, ilmu yang saya tularkan nanti akan membawa saya masuk surga. Selama.. murid-murid saya mengamalkan ilmu yang saya ajarkan. Syukur-syukur bisa mem-forward ilmunya ke orang lain lagi.

Bismillah... Nggak mau kalah sama syetan malas. Apapun pekerjaannya, sebelum mulai perlu diniatkan karena ibadah deh..

Selasa, 28 Agustus 2012

Nggak Suka Lagi


Selasa, 28 Agustus 2012...
Resmi memulai lagi karir di dunia per-les-an untuk tahun 2012/2013, semangaaaat...  
Sore tadi, tepatnya petang sih, aku sudah di rumah Abi untuk membantu dia beajar Bahasa Inggris. Anaknya cukup cooperative, menyenangkan dan cerdas. Cerdas itu penting, makanya ada kata "menyenangkan" dalam komentarku untuk Abi, hehehe


Lesnya sih biasa aja, tapi ada yang tidak biasa. Saat istirahat tiba, Abi memintaku meminum sirup yang sudah dibuat oleh eyang uti-nya untuk kami berdua. Aku hanya melirik segelas sirup berwarna pink. Bingung juga apa yang mau aku lakukan terhadap sirup itu. If you ask me why, it's because guava. Yup, itu segelas sirup jambu. Jambu sodara-sodara... Did I mention Jambu on the previous post? YeahI hate this fruit so much, that I can run far far away avoiding the smell of guava. Baunya benar-benar membuatku mual . Itu kalau jambunya asli bentuk buah. Untung yang kuhadapi tadi cuma segeas sirup jambu. Cuma perasa jambu saja, jadi baunya tidak teralu menyengat.



Well, back to the reality. Saat selesai dan siap-siap hendak pulang, Abi berkata "kok sirupnya nggak dihabiskan?"



Aku cuma tersenyum sambil memutar otak menghindari minum jambu tanpa menyakiti tuan rumah yang sudah repot-repot menyediakan minum. Tapi waktu berpikirku habis. Maka dengan menahan nafas aku cepat-cepat meminum segelas sirup jambu sampai tersisa 1/3 gelas. Gak habis 100% lah ya, tapi cukup jadi rekor baru buatku. Seperti sedang minum jamu, agar tidak terasa tidak enaknya jambu, sirup itu tidak kuperbolehkan mampir di mulutku. Selesai minum, aku sempatkan mengambil kastengel untuk menetralisir rasa jambu di mulutku. Dan alhamdulilah, aku tidak mual-mual, haha...



Beginiah susahnya menjadi fruit hater, tidak bisa makan atau minum yang berbau-bau buah. Yang artinya, setiap bertamu di rumah teman atau kerabat, (bila buah menjadi salah satu suguhan) aku bakal mengecewakan mereka karena tidak menyentuh buah yang mereka suguhkan padaku. So sorry, but I really cannot do that   

Selasa, 27 Maret 2012

Nggak Suka

Yang namanya tidak suka, baru mendengar namanya saja pasti langsung eneg. Apalagi melihat, membaui dan merasakannya. Bisa pingsan di tempat deh. Lebayyy...





"Hiyeeek..."
Ceritanya begini, sudah tahu kan kalau aku kurang suka (bukan tidak suka) dengan buah-buahan. Salah satunya jambu biji. Kalau jambu biji yang tengahnya warna pink, baunya sangat menyengat, jadi aku makin eneg melihatnya. Kalau jambu yang lain masih oke deh deket-deket mereka.

Hari senin kemarin aku ngajar les di daerah sekitar rumah. Biasanya aku disuguhi teh panas buat teman belajar. Karena itu hari yang nggak biasa (karena nggak kayak biasanya), aku dibikinkan jus oleh ibu si anak. Olala, kok jus jambu??!  Tapi masak iya aku harus nolak. Nggak enak dong sama yang punya rumah.

Saat itu aku cuma nungguin si anak menghabiskan jus jambunya sambil aku menahan nafas agar nggak  muntah . Baunya nggak nahan bok...  smiley

Otakku berpikir keras mencari cara agar gelas jus-ku nanti berkurang. Si ibu pasti senang karena berhasil memuliakan tamu (aku maksudnya). Bingung, mau aku minum, kok dari baunya saja aku nggak tahan. Kalau nggak ada yang minum, kok ya kasihan tuan rumah.

Selesai minum jus, si anak merasa masih mau jus jambu. Dengan sigap aku berikan segelas jus jambu bagianku. 
"Nih, kalau mau dihabiskan saja"
Si anak langsung meneguk jus jambu punyaku. Senang bukan main hatiku. Paling tidak si Ibu akan senang gelasku sudah berkurang isinya  barang sedikit saja. Masalah yang menghabiskan aku atau anaknya, itu urusan lain :D
Alhamdulillah, masalahku terselesaikan..

Eits, itu kan hari senin. Hari selasa tadi, aku ngajar les ke daerah piyungan. Lah dalah... kok suguhan-nya sirup rasa jambu biji. Tidaaaaaaak...

Kali ini aku terpaksa mencicip seteguk sirup rasa JAMBU BIJI karena cuma aku yang dibikinkan sirup, anaknya nggak dikasih. Nggak mungkin kan aku kasih sirupnya ke si anak. Catatan, aku minum sirup itu pake ancang-ancang nahan bau. ckckckck...

Aku cuma bisa berdoa, semoga besok Rabu dan Kamin saat les nggak ada yang berbau-bau jambu. Amiin...

Senin, 26 Maret 2012

Private Course


    Sebagian mahasiswa/i (pada jamannya) suka promosi private course independent atau ke bimbel. Kalau beruntung, nggak perlu promosi juga sudah pada datang sendiri tawaran lesnya. Tujuan mereka menerima tawaran les bisa dipastikan untuk nambah uang saku atau lebih jujur lagi untuk membiayai hidupnya. Yah, gak tau ya alasan pastinya. Aku agak nggak mau tahu, takut dikira ikut campur :D


     Saat jadi mahasiswi (dulu), aku pasti mikir-mikir kalau disuruh kasih les privat. Secara aku selalu kesulitan membagi waktu (antara skripsi, kerjaan di sekolah atau les). Kalau nambah kerjaan les, pasti capeknya minta ampun, waktu luang jadi berkurang. Itu pikiraanku pada saat itu. Sampai pada suatu saat sewaktu menghadiri nikahan temen, kakak dari temenku itu memintaku jadi guru les privat untuk putranya yang masih SD. 
     Waduh, aku sudah merasa nggak punya waktu  (waktu tidur siang atau pun waktu maen, hahaha), tapi kok bingung cara menolaknya. Namun, pada akhirnya aku terima juga tawarannya. Lumayan dapat tambahan duit (hihihi). Lama kelamaan makin nambah murid lesku. Semuanya bukan karena aku yang promosi, tapi karena ada yang nawarin. Ya itu tadi, karena sifatku yang nggak enak untuk menolak, aku terimalah tawaran nge-les privat. Tiap Senin-Kamis  (cuma berani nge-les 1 org/hari) bisa dipastikan pulang sekolah aku nggak bisa kemana-mana. Sibuk menyiapkan materi les dan nggak tenang kalau pergi-pergi 1 jam sebelum waktu les. Nggak enak kalau datang ke TKP tanpa persiapan apalagi kalau sampe telat. Ah, lagi-lagi perasaan nggak enak yang muncul. Sampai-sampai aku berpikir, aku nge-les ini lebih karena "NGGAK ENAK" menolak daripada mikirin duit yang akan aku dapat. 
     Kalau mikirin fee-nya, kira-kira 4 hr x Rp. 25.000 = Rp. 100.000 x 4 minggu = Rp. 400.000. Wew, lumayan banget nih, bisa melebihi gajiku selama 1 bulan (hahaha). Tapi kok aku sering bikin alesan segudang kalau lagi males les ya, hmmm... 
   Terus, motivasiku nge-les ini sebener e apa ya. Maunya sih motivasi ne "karena ibadah". Kayak yang pak ustad bilang itu (hehe). Tapi kan hati orang siapa yang tahu, dan hatiku, cuma aku yang tahu, ckckckck...
 
Don't Skip Me Blog Design by Ipietoon