Senin, 03 Februari 2014

Sejujurnya..

Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan di dalam batinnya. Semua pembicaraan harus mengandung kebaikan dan disampaikan dengan cara yang baik pula.

Jangan sampai pembicaraan kita penuh dengan hal-hal yang mungkar, menjijikan, menyakiti hati orang lain dan merusak. Seharusnya diusahakan untuk berbicara dengan sesuatu yang bermanfaat, memberikan kegembiraan kepada orang lain, memotivasi untuk kebaikan, memberikan kesadaran dan mengajak orang untuk menegakkan kebenaran (diambil dari: here and there). 

Semalam saya terlibat perdebatan dengan seorang teman soal kejujuran. Menurutnya, jujur itu tidak ada yang menyakitkan. Pun kalau sakit hati, mending sekarang daripada nanti-nanti. Dan setelah berkata jujur, maka hati akan plong bebas dari beban. Lho, apa kabar dengan orang yang mendengar kejujurannya? Bukankah menjaga hati orang lain itu termasuk yang harus dipikirkan sebelum berkata jujur? (Errr.. atau saya saja yang terlalu sok memikirkan orang lain ya).

Oke.. saya suka kalau ada yang ngomong jujur pada saya. Tapi tanpa disadarinya, saya sedih, marah dan kecewa mendengar kejujurannya yang menyudutkanku itu. Tapi saya diam saja, karena hanya itu yang biasa saya lakukan untuk menghindari pertengkaran yang nggak penting. Dan saya sedang berusaha ikhlas menerima kejujuran orang lain, meski jadi berbeda pandangan, I do agree to disagree..

Sejujurnya, salah satu alasannya adalah karena saya tidak pintar berkata jujur. Apa sebabnya? Karena menurutku, tidak semua hal harus dikatakan dengan jujur 100%. Setidaknya jangan dikatakan secara gamblang, blak-blakan, tanpa basa basi. Kalau ada jalan lain menuju Roma, maka saya memilih jalan itu daripada kejujuranku berbuah pahit (eits, maksudnya dalam hal tertentu lho). Ambillah contoh saat beberapa hari yang lalu saat les saya disuguhi minuman rasa Strawberry. Saat melihat gelas berisi susu Putih dan ternyata rasa Strawberry, saya agak sedikit mengernyitkan dahi. 

Muridku dengan girangnya berkata, “yes, susu. Mbak Endang ki ora doyan, Mah”
Sang Ibu kaget dan berkata, “ben ngombe aqua ne kui. Iki energen kok, mbak. Doyan tho?”
What more can I say? “Nggak terlalu suka, tapi doyan. Nanti saya minum, bu”

Before (pukul 19.30an) - After (pukul 20.30an)

Padahal saya sendiri tak yakin apa bisa nanti saya menghabiskan segelas susu putih itu. Jujur saya tak suka susu putih apalagi dengan rasa buah-buahan yang nggak normal (bukan jeruk atau mangga ). Tapi kalau saya mengatakan “nggak doyan bu”, nggak tega rasanya melihat kekecewaan di wajah Tuan Rumah. Maka dengan segenap tenaga dan perjuangan, walau harus mengimbanginya dengan air putih, saya habiskan juga Energen dengan sensasi strawberry tadi. 

Selesai les, sang Ibu menemuiku dan bertanya
“wo, mbak Endang ki ora seneng susu putih tho? Tiwas wis tak gaweke. Rasah di ombe nek ra seneng ki”
See, jujur itu kadang tetap berujung tidak mengenakkan tho?
Padahal saya merasa sudah memilih kata-kata yang tepat lho..

Terlepas dari itu semua, jujur dalam perkataan (dan perbuatan tentunya) memang harus di junjung tinggi. Tentunya, dengan mengingat pula adab-adab berbicara dengan orang lain. Semoga saya bisa selalu Jujur dengan diri sendiri dan orang lain. Amin..

0 komentar:

Posting Komentar

Your comment, please. Whether it is good or bad... ^_^

 
Don't Skip Me Blog Design by Ipietoon